Sunday, 6 May 2012

Estafet Cita ( Sebuah Cerita tentang Ayah )




Dear Dee ...
            Dee .. pernahkah kita berfikir kalau kehidupan kita saat ini membawa estafet cita dari para pendahulu kita, mereka yang berjuang, bertahan dan belajar agar generasi yang lebih baik akan menggantikan mereka untuk menjaga kelangsungan hidup di muka bumi ini. mungkin tongkat estafet itu tak terlihat, namun aku sendiri bisa merasakan kekuatan dari estafet cinta tersebut hingga aku bisa bertahan hingga saat ini.

            Dee.. di akui atau tidak, Allah mengajarkan kita untuk bisa survive hidup di dunia tidak hanya berasal dari diri kita, tapi juga dari orang-orang yang menyayangi kita. mereka adalah orang-orang hebat yang telah Allah kirim kepada kita agar kita bisa menjadi generasi yang lebih hebat dari mereka, dan salah satu orang hebat yang telah Allah kirimkan kepadaku adalah pamanku pak Bambang Sukarsono. Seseorang yang tak hanya menjadi seorang dosen tapi juga ayah psikologis bagiku, bahkan banyak yang beliau ajarkan kepadaku walaupun hanya dari senyum dan dalam diamnya.
Dulu pak Bambang yang lebih sering di sebut dengan panggilan ayah. Pernah bercerita kepada “Dulu mbah Hadi ( ayah beliau ) pernah berpesan kepadaku Bang, lek awakmu sugih ojo lali mbantu dulur dulur mu sink gak duwe ( Bang, jika kamu kaya jangan lupa membantu saudara-saudaramu yang kurang mampu ).
Dan itulah salah satu sumber kesuksesan beliau dalam perantauan dan mencapai sebuah makna bernama kesuksesan,
Sejak mbah Hadi, ayah berjuang sendiri menapaki tangga – tangga kesuksesan, dengan tiga bekal yakni sholat Tahajud yang menghubungkan beliau dengan Allah, bakti kepada sang ibu yang mengikat keridhaan Allah dengan beliau, dan sebuah amanah dari sang ayah yang selalu mengantarkan beliau dekat dengan pertolongan Allah. Semua aral yang mehalangi beliau lewati dengan senyuman yang seolah mengajarkan padaku dan berkata “Nikmati setiap proses yang ada, karena dia akan mengantarkanmu dekat dengan Allah, dia akan berlalu bersama sang waktu dan akan meninggalkan kekuatan dalam dirimu atas ijin Allah”
Mungkin aku bukan anak kandung beliau, namun kasih sayang beliau dan keluarganya telah mengantarkanku hingga aku bisa menyelesaikan studiku. Tak hanya biaya sekolah dan kuliah yang mereka berikan tapi juga kehangatan sebuah keluarga.
            Sebuah rumah yang cukup besar dan pohon belimbingnya itu aku merasakan kehangatan keluarga yang belum kurasakan sebelumnya karena Allah memberiku amanah berada dalam keluarga yang broken home, namun di rumah ayah, aku memiliki kehangatan cinta tersebut. teringat saat ayah yang lebih memilih membawa makanan untuk di makan anak-anak dan keponakannya sedang beliau memandangi dengan senyum kebersamaan ketiga aku, kakakku, sepupuku dan ketiga anak beliau makan dalam satu piring bersama dari makanan yang beliau peroleh saat bertugas. Kadang bila salah satu di antara kami ketahuan makan sendiri, pasti di ingatkan dengan lembut “lek duwe panganan jo lali dulur e ( kalo punya makanan jangan lupakan saudaramu ), bahkan ketika panen belimbing. Ayah yang suka membungkus belimbing agar tidak di makan codot ( sejenis kelelawar pemakan buah ), dan aku yang memanennya, saat terkumpul satu yang ayah ingatkan bagilah dengan tetangga kita. begitupula saat idul qurban, daging qurban yang menjadi jatah kami, sebagian juga di bagikan lagi kepada tetangga walau ada beberapa di antara mereka ada yang berbeda keyakinan. Apa yang ayah dan ibu ajarkan kepadaku ini seolah mengajarkanku “kekuatan adalah meniadakan perbedaan, dan memandangnya sebagai satu kesatuan yang utuh”
            Ayah juga seorang dosen, beliau mengajarkan teori ekonomi di kampusku. Kadang saat beliau mengajar bercerita tentang keluarganya, dan mengganggap mahasiswanya sebagai putra-putrinya sendiri. Pernah beliau bercerita tentang aku di depan teman-temanku. “Aku punya Putri, dia serius belajar, waktu aku mengeceknya eh ternyata dia serius membaca komik” langsung teman-teman dekatku yang tahu Orang yang di maksud adalah aku, mereka langsung menoleh kearahku. Aku tahu itu untuk membuat suasana kelas tidak terlalu tegang, walau itu aku tahu itu memang kenyataannya. Namun yang lebih penting ada dua ilmu yang beliau ajarkan kepadaku dan teman-temanku saat kami pertama kali beliau ajarkan, beliau mengajarkan jadilah orang yang mempunyai Value added dan low profile. awalnya aku kurang paham kekuatan dasyat di balik kedua pesan tersebut. kini ku tahu dengan Value Added kita akan di cari oleh dunia sedang dengan low profile dunia akan menyayangi kita.
Dengan cinta dan cita yang Ayah ajarkan. insyaAllah Ayah akan selalu hidup di hatiku.

Untuk  ayah
aku ingin menyatakan aku menyayangi ayah dan keluarga manukan karena Allah


Semoga bermanfaat


No comments:

Post a Comment